Pengembara Gila yang mencari sesuatu atas nama Cinta

Motivasi Menulis

Bahagia Gak Harus Sama Dia

 


Catatan Ke-1

Ciamis pagi itu terlihat mendung. ketika kutatap langit, awan-awan terlihat berwarna hitam pucat. Jalanan kota dipenuhi kendaraan dari berbagai arah. Satu hal yang pasti, jalan menuju kampusku tertutup banyak mimpi dan ambisi dari orang-orang melankolis.

Mungkin hari sabtu 29 Oktober 2022 adalah salah satu hari yang akan aku beri warna merah alpukat dalam kalender tahun ini. Karena pada hari itu empat tahun sudah aku belajar di kampus yang kata beberapa pujangga sering disebut “kampus ungu” entah karena jas almamaternya yang berwarna ungu, atau mungkin ada presepsi lain semisal ketenangan, kesedihan, dan sejuta makna lainya yang tidak bisa saya gali terlalu dalam. Yang jelas ungu tidak selalu berkonotasi janda.

Sebagai orang yang tidak suka kebisingan, sebenarnya saya enggan untuk menghadiri acara-acara seperti ini. Baru sampai gerbangnya saja orang-orang sudah sangat banyak, seperti unjuk rasa turunkan harga bbm. Istilah kata, yang wisuda satu orang tapi yang ngantar satu RT. Sebenarnya mau wisuda atau mau antri ngambil tablet tambah darah sih.

Bagi mantan mahasiswa seperti saya, auditorium adalah salah satu ruangan yang bisa dibilang sangat keren, megah dan elegan. Ketika pintunya dibuka. kerpet merah selebar 2 meter sudah terhampar panjang sampai panggung acara. Panitia yang sangat ramah menyambut kedatangan kami sambil sesekali menunjukan arah dimana kursi yang akan kami duduki.

Bagiku, tidak ada yang istimewa sama sekali dalam acara yang kalangan intelektual biasa menyebutnya dengan “Wis Udah”.  Isinya hanya sambutan-sambutan panjang. Pidato panjang lebarpun isinya tetap sama. Sambutan, kata selamat, motivasi. Dan beberapa wejangan untuk mahasiswa supaya kuat dan tegar untuk menghadapi fase pengangguran kedepanya. Bukan rahasia umum lagi bahwa mahasiswa-mahasiswa yang sudah pensiun dari dunia perkuliahan tentunya hal pertama yang akan dihadapi adalah fase nganggur. Lapangkan dada kalian untuk menghadapi tajamnya moncong tetangga. Sabar ketika isi dompet hanya tinggal KTP dan SIM. All is well tod.

Dulu aku terlalu percaya diri karena pernah berkata “gak papa sama yang lain, yang penting tingkat akhir sama aku” dan pada akhirnya “aku” hanyalah milik chairul anwar. Aku hanyalah jejak kaki yang hilang terbasuh hujan malam juli.

“Bahagia gak harus sama dia” 

diksi itu hanya sebuah kalimat pembelaan agar rasa sakit yang sudah menusuk tidak terlalu dalam membekas. Sebuah narasi yang bernilai negasi, bisa jadi premisnya adalah ingkaran dari negasi itu sendiri. Hilangkan saja kata “gak” maka itu akan menjadi pernyataan tertutup yang memiliki nilai.

 Sejujurnya rasa itu sudah lama pergi. Jauh sebelum corona menyerang.

Darmacaang dibawah pohon pinus yang rindang, pemuda naif itu menunggu hadirnya ditengah hujan. Tapi na’as, Sang dara yang ditunggu tek pernah datang, lupakah ia jalan pulang ?

Tapi, seorang pengembara gila punya caranya sendiri untuk berdamai dengan semesta. Lagipula, rasa itu sudah lama terkubur. Aku percaya bahwa mengungkapkan perasaan tidak selamanya mengandung statement “aku cinta kamu, kamu harus mau sama aku” itu surat yang aku tulis ketika kelas 4 SD. Bahkan jika menurutmu itu surat cinta, bagiku terdengar seperti surat ancaman.

“Sebuah perasaan harus disampaikan bukan karena keterpaksaan, tapi karena bisa jadi dia memang pemilikinya”. Satu matematika, satunya olahraga. Memang perpaduan yang serasi. Bisa kubayangkan ketika mereka bekerja sama. Yang satu pakai otak, yang satu pakai otot. Berbeda halnya jika keduanya adalah matematika. Mungkin hari-hari kami akan diisi dengan mencari jumlah pi yang panjangnya gak abis-abis.

Kata pa rektor di akhhir pidatonya, satu-satunya hal yang harus dijaga oleh manusia adalah “Harapan” hooh tenan.

 

Catatan Ke-2

Wisuda telah berakhir, auditorium memuntahkan isinya hingga berhamburan keluar. Semua mahasiswa disambut haru dan bangga oleh sanak keluarga bahkan pacar. Hooh tenan.

Dibawah pohon besar itu, aku berdiam menatap sekitar. Ramai, hingar dan bingar. Tak bisa kubedakan mana tangisan sedih, bahagia, dan tangisan tak punya uang. Semuanya mirip.

Tukang foto hilir mudik menawarkan jasanya padaku “barangkali mau foto sama pasanganya a” sambil menyodorkan hasil-hasil jepretan berbingkai yang sudah jadi. Sungguh tukang foto tidak tau etika, dia bertanya padaku foto pasangan sedangkan sudah 15 menit aku berdiri disitu sendirian. Benda mati apa yang engkau anggap pasanganku ? pohon ini terlalu besar untuk aku cumbui.

Dengan sedikit senyum dan menggelengkan kepala, akhirnya kang foto itu mengerti bahwa aku berontak.

Ditengah lamunanku, seorang teman satu angkatan datang menghampiriku. Sayangnya dia belum lulus. Aku kaget ketika dia datang. Sungguh mental yang kuat bisa menghadiri wisuda padahal belum lulus.

Dengan mengangkat alis mata aku bertanya “kamu ?” aku kaget, dia juga kaget. Kami sama-sama kaget. Sampai-sampai tukang foto yang sudah lewatpun berniat menawarkan jasanya untuk yang kedua kali.

“apa kabar ?” aku menanyakanya.

“alhamdulilah” jawabnya.

Kami saling senyum, seperti orang bingung yang entah harus darimana mengawali percakapan. Gugup.

“selamat ya” sambil memberikan bingkisan besar

“iya terima kasih” tanganku berusaha menolak bingkisan itu.

“ini buat aku ?, aduh jangan repot-repot. Kado ini terlalu besar buatku” aku berusaha menolah sehalus mungkin.

“Mungkin sahabat kamu bakal seneng kalau kamu kasih kadonya kedia” ujarku sembari menambahkan.

Wajahnya memerah, entah dia malu atau mau marah, atau mungkin blush on nya terlalu tebal. Sungguh, aku tidak bisa membedakanya. Yang jelas dia memasukan kembali kadonya. Dan mengeluarkan kado yang lebih kecil.

“kalau begitu yang ini aja buat kamu” ucap dia sambil menyodorkan bingkisan yang kecil.

“yaudah, kalau ini aku terima yah.hehe” tanganku refleks mengambilnya secepat mungkin.

Jujur saja,, bagiku pertemuan siang itu sungguh hangat.

Sebuah pertemuan singkat yang tak lama dia pergi menjumpai sahabatnya.

Sore harinya kampus sudah mulai surut, semua punya tujuan yang sama yaitu pulang. beruntungnya aku dan dia bertemu kembali di depan gerbang kampus. Hanya saja pertemuan kali ini sedikit berbeda.

Aku tepat berada di depan gerbang kampus, sedangkan dia di sebrang jalan sana menunggu bis ke arah jalan pulangnya. Jarak kami hanya 5 meter terpisahkan oleh jalan raya. Aku menatapnya, dia menatapku, kami tersenyum. Banyak hal yang ingin aku tanyakan. Tapi posisi dan waktu kami untuk bicara tidak pas. Kendaraan yang berseliweran sangat berisik. Mobil-mobil besar yang lewat sesekali menutupi wajah kami satu sama lain. Belum lagi angkot, elf, ojek yang tidak henti hentinya menawariku untuk naik.

Aku menatapnya, dia sedang menunduk.

Aku membuka handphonku, mencari nomornya di kontaku. Lalu menelponya.

“Assalamualaikum” salamku padanya

“walaikumsalam” jawabnya setengah teriak karena bising kendaraan yang lewat mempertidak jelas suara.

“kamu mau pulang yah ?” aku memberikanya pertanyaan

“iyah” jawabnya singkat

“yaudah, hati-hati semoga selamat” aku menambahkan

Tanpa menjawab, dia hanya tersenyum manis.

Akupun mengakhirinya “assalamualaikum”

Bisnya sudah datang, sambil naik dia menjawab salamku.

“walaikumsalam” leup. Telpon mati.

Aku dan dia pulang. Penuh canggung. Ditemani lirih sang mentari yang juga pulang ke tempat peraduanya.

Bagiku, Ciamis tak lagi sama. Masanya berbeda, orangnya-orangnya pergi. Yang tersisa hanyalah kenangan, itu juga akan hilang seiring waktu. Ternyata memang benar; orang yang paling kuat mengingat, biasanya dia yang paling kehilangan.

 

 

 


0 Komentar untuk "Bahagia Gak Harus Sama Dia"

Bahagia Gak Harus Sama Dia

  Catatan Ke-1 Ciamis pagi itu terlihat mendung. ketika kutatap langit, awan-awan terlihat berwarna hitam pucat. Jalanan kota dipenuhi ken...

Back To Top